Refleksi sejarah Fuad Hidayat
Parakan. Kota tua, keramaian yang ajeg,
deretan toko pecinan, hilir-mudik kesibukan masyarakat muslim. Setiapkali
berada di Parakan, atau sekadar lewat, saya selalu punya pandangan khusus
terhadap situasi di sana.
Kehidupan di
Parakan memiliki ciri-khusus karena antara modernitas dan tradisionalitas
berkawin mesra sehingga
menjadikan kota kecil ini paling menonjol peranan politik, ekonomi, dan keagamaannya di banding kecamatan lain.
menjadikan kota kecil ini paling menonjol peranan politik, ekonomi, dan keagamaannya di banding kecamatan lain.
Dan sisi lain
yang menarik ialah terdapatnya dua tokoh nasional yang membanggakan. Sebagai
generasi yang selalu berpikir tentang masa depan, saya merasa perlu melukiskan
apresiasi terhadap sosok Mohammad Roem dan Kiai Subkhi.
Ijinkan catatan
kecil ini menjadi refleksi penting saya, yang moga-moga cocok untuk Anda.
Mohammad Roem adalah
tokoh ternama Indonesia di masa lalu. Ia putra Klewongan, Parakan. Beberapa
sumber sejarah sepakat mencatat kelahirannya 16 Mei 1908. Ia merupakan anak keenam dari Bapak Dulkarnaen.
Ayahnya memang bukan golongan santri, tetapi memiliki kecintaan terhadap ilmu
agama secara kuat.
Kisah ini juga
mengingatkan kita pada sosok K.H Chudlori, Tegalrejo Magelang yang ayahnya
bukan seorang kiai, tetapi bisa menjadi ulama besar di Indonesia. Roem disuruh
belajar mengaji kepada Kyai Wongso. Pendidikan agamanya kian bertambah setelah
ia pindah ke Pekalongan.
Di sana ia
hidup di tengah lingkungan Muhammadiyah. Selain itu Roem juga menempuh
pendidikan Belanda. Hollandsch Inlandsche
School (HIS), School tot Opleiding
voor Indische Arts (STOVIA), dan Algemene Midelbare School (AMS) berhasil
ditempuhnya. Kedua model pendidikan dan juga lingkungan itulah yang berpengaruh
dalam sikap, kepribadian, dan ideologi Roem di kemudian hari.
Sikap,
kepribadian, dan juga ideologi dalam diri Roem mewujud ketika secara resmi
menjadi anggota Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada 1932. Namun
sebelumnya, pada 1925. Beberapa sumber sejarah juga mengatakan, Roem terlebih
dulu kenal dengan Agus Salim pada saat pendirian Jong Islamiten Bond.
Agus Salim kita
kenal seorang ahli politik Islam dan juga diplomat. Ia juga seorang guru bagi
para tokoh pergerakan lainnya. Pertemuan dengan Agus Salim ini banyak memasok
pengetahuan diplomasi, bahkan banyak mempengaruhi sikap politik Roem.
Misalnya, ketika
PSII pecah dan Agus Salim mendirikan Partai Penyadar, Roem mengikutinya. Ia
sama seperti Salim yang meyakini perlawanan kepada Belanda meskipun dilakukan
dengan jalan “kooperatif”. Hal ini berbeda dengan PSII yang masih bersikukuh gerakan
radikal. Sebagaimana Salim, Roem memilih untuk berjuang dengan jalan perdamian,
tanpa main tempur.
Kemampuan
diplomasi Roem teruji secara baik semasa revolusi fisik (1945-1949) ketika
ibukota berada di Yogyakarta. Berlanjut kemudian saat ia masuk dalam Kabinet
Sjahir III. Saat itu ia bersedia ikut dalam perundingan Linggarjati meski
partainya, Masyumi, menolak perundingan tersebut. Di sinilah nampak faktor yang
amat kuat mempengaruhi diri Roem sebagai diplomat bukanlah semata-mata karena
bakat atau didikan Salim melainkan karena bentukan pribadi yang bebas.
Pada akhirnya,
sebagian politikus menilai perundingan Linggarjati gagal dan Kabinet Sjahir
kehilangan pamor. Amir Sjariffudin mencuat dengan membentuk kabinet baru pada
13 November 1947. Masyumi yang sebelumnya menolak terlibat dalam kabinet, saat
itu ikut tergabung dalam kabinet yang dipimpin Amir.
Meski sempat
jatuh bersama kabinet Sjahiri, Roem tak
tenggelam, ia malah duduk sebagai Menteri mewakili Masyumi. Di Kabiner Amir, Roem
kembali duduk sebagai diplomat. Pada 8 Desember 1947 perundingan Renville
digelar, Roem menjadi salah satu anggotanya.
Kabinet Amir
jatuh diganti dengan Kabinet Hatta. Hatta tetap mempercayai Roem sebagai
dipolomat meneruskan perundingan Renville. Inilah masa sulit bagi perjuangan
diplomasi Roem. Karena pada saat bersamaan, Belanda tetap ngotot untuk
menguasai Indonesia. Sedangkan Amir Sjariffudin dengan Muso mencoba menjatuhkan
kabinet Hatta dengan pemberontakannya di Madiun.
Di sisi lain,
tentara Belanda melakukan agresinya yang kedua, Yogyakarta dibombardir dan
berhasil dikuasai. Pemerintahan RI akhirnya lumpuh sebab Soekarno, Hatta, Agus
Salim dan tokoh-tokoh lain ditangkap dan diasingkan. Keadaan seperti inilah
yang mendorong untuk sesegera mungkin mendirikan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia di bawah pimpinan Syafrudin Prawiranegara di Sumatera Barat.
Serangan
Belanda terhadap ibukota Yogyakarta ini mendapat kecaman keras dari dunia
internasional. PBB sebagai organisasi terbesar di dunia ikut terpanggil
menyelesaikan masalah ini. PBB menginginkan agar Belanda melakukan perundingan
dengan Indonesia. Tekanan internasional ini memaksa Dr. Beel, Wakil Tertinggi
Ratu Belanda di Indonesia, untuk menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Hatta sebagai Perdana Menteri diundang ke Den Haag untuk menghadiri KMB. Usul
itu diterima dengan persyaratan kedudukan RI dipulihkan terlebih dahulu.
Keadaan seperti
ini yang membuat Roem sebagai ketua delegasi perundingan mengalami dilema.
Soekarno-Hatta menyerahkan kedaulatan kepada Syafrudin Prawiranegara. Secara
formal kekuasaan berada di tangan Syafrudin Prawiranegara sehingga Syafrufinlah
yang berhak melakukan perundingan. Masyumi, partai yang mengusung Roem,
mendukung Syafrudin. Namun Roem punya jalan lain, ia tetap memilih Soekarno
Hatta. Ia berkeyakinan bahwa pemulihan kedaulatan RI merupakan syarat utama
bagi perundingan Indonesia-Belanda.
Ketika
perundingan yang berlangsung di hotel Des Indes pada 14 April 1949—selanjutnya
disebut perundingan Roem-Royen—berlangsung, Roem mengecam aksi kekerasan yang
dilakukan Belanda. Sifat anti kekerasan dalam diri Roem mencuat. Perundingan
itu akhirnya melahirkan sebuah langkah berarti terhadap kedaulatan Indonesia.
Pertama, pemerintah Belanda setuju bahwa
pemerintah RI harus bebas dan leluasa melaksanakan jabatan yang sepatutnya
dalam suatu daerah yang meliputi karisidenan Yogyakarta. Kedua, pemerintah Belanda menguatkan sekali lagi kesanggupan untuk
menjamin penghentian segera gerakan-gerakan militer dan membebaskan segera
tahanan-tahanan politik yang ditangkap sejak 17 Desember 1948 dalam Republik
Indonesia.(hlm. 85).
Akhirnya pada
22 Juni 1949, Royen menarik pasukan Belanda dari wilayah RI, Sulatan
Hamengkubuwana kemabali menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Hatta. Dua
minggu berikutnya, 5 Juli 1949, Soekarno, Hatta, dan Agus Salim pulang dari
pengasingan. Seminggu kemudian, 13 Juli 1949, Syafrudin Prawiranegara
mengembalikan kekuasaanya sebagai Presiden PDRI secara resmi kepada Presiden
Indonesia, Soekarno. Kurang lebih 5 bulan setelah itu, 27 Desember 1949,
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Inilah Roem
yang berjibaku dengan dunia diplomasi, sebuah dunia yang mengedepankan kata,
logika, dan retorika. Roem, sekali lagi, menunjukan diri sebagai seorang
nasionalis Islam yang punya caranya sendiri untuk menundukan garangnya tirani.
Satu hal yang patut diingat adalah usia Mohamad Roem baru 38 tahun ketika
tanggung jawab besar itu diembannya.
Dan….Roem bisa
membuktikan diri sebagai diplomat muda yang sukses. Inilah Roem, putera kebanggaan
warga Parakaan, Kebanggaan orang Temanggung, dan kebanggaan kita, generasi
Indonesia sampai sekarang dan masa nanti.[]
Mbah
Subkhi
Selain Diplomat
Roem, Parakan memiliki sosok luar biasa hebat yang menjadi kebanggaan
saya. Heorisme Bambu Runcing menjadikan
bulu-kuduk saya berdiri. Ketika sepucuk bambu runcing harus menghadapi tentara
NICA yang bersenjata lengkap menjadikan pikiran saya kagum sekaligus sedikit
kontradiktif. Pasalnya, ada banyak hal-hal di luar nalar tapi begitulah fakta
yang terjadi dalam revolusi.
Para pejuang
yang mengandalkan semangat itu berduyun-duyun datang ke Parakan dengan kereta
api berniat menemui Kyai Subchi agar bambu runcing atau cucukan itu diberi doa
oleh sang kyai. Setelah itu ada banyak cerita yang kemudian beredar di masa
revolusi, ketika bambu runcing itu dilangkahi oleh serdadu Belanda, mereka
kemudian mati. Kyai Subchi adalah salah satu fragmen dalam sejarah Indonesia.
Adabi
Darban, pakar sejarah Islam dalam bukunya Fragmentasi
Sejarah Islam Indonesia mengatakan bahwa amalan yang digunakan Kyai Subchi
adalah shalatul lail. Kyai
Subchi, menurut Adabi Darban dikenal sebagai kyai yang memiliki karomah.
Terlebih lagi ia dikenal sebagai pribadi yang hangat dan dekat dengan masyarakat
di Parakan. Bahkan ia juga dikenal sebagai dermawan karena mengamalkan sebagian
hartanya untuk masyarakat sekitar dan perjuangan kemerdekaan 1946-1949.
Kehebatan sang kyai, katakan saja
demikian, adalah cerita terpendam pada masa revolusi fisik Indonesia pada
1946-1949. Kita kemudian tahu bahwa revolusi tidak hanya diselesaikan dengan
senjata tapi juga jalur diplomasi yang dilakukan Mohamad Roem di atas.
Kerja
keras dan kerja cerdas
Dua sosok ini,
sungguh inspiratif untuk sebuah pengalaman historis. Kita bertindak masa kini,
berpikir masa depan, tapi punya galian emas sejarah masa lalu. Hikmah dari
kedua tokoh ini menegaskan bahwa selain perjuangan bersenjata ala Mbah Subkhi
adalah lambang kerja keras, bertindak konkret dengan modal tekad dan kemampuan
apa adanya tetap berani melawan. Mbah Subkhi mengajarkan etos hidup yang luhur,
pantang menyerah dan membawa energi kemerdekaan.
Sedangkan
diplomasi model Mohammad Roem merupakan lambang kecerdasan, di mana bentuk
perjuangan diplomatik memungkinkan kita untuk meraih jalan kemenangan.
Dua jalan
perjuangan yang penting untuk kita miliki sebagai sumber inspirasi gerak hidup
di masa kini. Kerja keras dan kerja cerdas. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar