Mendorong karakter wirausahawan



Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Boediono menyebutkan, jumlah wirausahawan di Indonesia masih kecil. Ia mengambil data dari Badan Pusat Statistik Nasional, bahwa jumlahnya hanya 1,56 % dari jumlah penduduk. Angka ini jauh lebih kecil dibanding Malaysia ( 4%) Thailand (4,51%) dan Singapura (7,2%).
Mengapa rendah? Wapres katakan karena ada enam masalah. Pertama, penegakkan hukum, kedua pertumbuhan makro ekonomi yang stabil, ketiga masalah infrastruktur, keempat regulasi, kelima layanan finansial, dan keenam, tenaga kerja.


Karakter jiwa
Sebenarnya apa yang dikatakan tersebut merupakan masalah klasik yang tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah sendiri. Tanpa bermaksud mengabaikan masalah klasik tersebut, saya ingin mengutarakan bahwa persoalan kewirausahaan sejatinya juga menyangkut masalah mentalitas, karakter, atau kepribadian personal. 
Kultur hidup wirausahawan sangat lejat dengan pola hidup mandiri, tidak memiliki ketergantungan pada kepastian penghasilan/gaji rutin (sebagaimana PNS atau karyawan bergaji), dan karena itu salah-satu targetnya ialah menghasilkan ekonomi secara stabil di tengah ‘ketidakstabilan’. Yang ‘tidak ada’ harus ‘diadakan’ (seperti modal), yang kurang harus ditambahi (seperti relasi) dana kreativitas.
Wirausaha tidak sekadar modal uang, melainkan harus punya modal kepribadian yang tangguh, mahir menciptakan peluang, komunikatif dan bahkan harus memiliki jiwa yang baik, berpola-pikir logis, modern, serta bijaksana, disertai kerja efektif dan cekatan, serta kesanggupan untuk tidak bergaya hidup hedon (konsumerisme).
Menimbang karakter dasar ini, terobosan harus dimulai melalui jalur pendidikan (sekolah maupun luar sekolah) yang harus menekankan nilai-nilai penting tersebut. Kenapa banyak generasi muda yang ingin menjadi PNS dan miskin impian menjadi wirausahawan? Karena pendidikan dari orangtua dan juga kultur masyarakat kita pragmatis dalam memandang gaji, termasuk tunjangan hari tua. Dunia gaji (baik dalam kepegawaian maupun kekaryawanan) dianggap mengamankan kehidupan rumahtangga. 
Ini sebenarnya mitos yang harus dihilangkan karena tidak baik bagi kesehatan mental hidup. Seolah-olah Gusti Allah hanya memberikan rezeki melalui jalur gaji. Padahal antara gaji dan rezeki itu berbeda. Gaji hanya merupakan bagian dari rezeki, tetapi rezeki tidak sebatas urusan gaji.
Faktanya, banyak PNS atau Karyawan bergaji yang memang aman, tapi sebatas aman dalam pekerjaan, tapi batin mereka sangat rentan tekanan karena pola hidupnya sangat konsumtif, dililit banyak utang dan hidup secara monoton.
Perlu ditegaskan, bahwa urusan “kepastian ekonomi” dan “keamanan ekonomi” itu bisa dibentuk, bisa dipola, dan karena itu bisa diusahakan. Beberapa hal di antaranya ialah, gemar mencari peluang, tertib dalam pengeluaran belanja, termasuk mahir menabung dan cerdas mengelola utang-piutang. Karena itu, seorang wirausahawan mestinya juga pribadi yang komunikatif, gemar bersosialisasi, dan mahir memimpin.

Kreatif di era global
Peluang kewirausahaan zaman sekarang sangat terbuka. Modal uang perlu, tetapi lebih perlu lagi, selain mentalitas tadi, juga modal kecerdasan membaca peluang. Globalisasi ekonomi, terlebih dengan kekuatan dahsyat internet, juga tren pasar yang variatif, membuat kita bisa melakukan banyak hal.
Hasil produk industri rakyat di pedesaan mungkin tak menarik di jual di Jawa Tengah, tapi bisa memiliki nilai jual tinggi di Bandung, Jakarta, luar Jawa dan jelas sangat menarik di jual di Mancanegara.
Internet telah mampu menjembatani problem tersebut. Dan banyak kaum muda sudah melakukan hal itu. Tinggal pemerintah yang harus selalu gaul dengan mereka. Yang sudah maju harus didorong menjadi wirausahawan teladan dan difasilitasi menjadi trainer agar mampu menebarkan virus-virus kewirausahawanan di lingkungannya. Baik instansi pemerintah pusat maupun daerah perlu mencanangkan kurikulum kewirausahaan di sekolah-sekolah.
Kelemahan pemerintahan kita selama ini adalah 1) lambat, tidak cepat gerak dan bergantung pada formalitas kebijakan yang kaku, 2) kurang jeli melihat potensi usaha kecil yang memiliki nilai jual di pasar nasional maupun internasional, dan 3) memberdayakan tidak serius, semisal hanya memberi modal tapi lupa memberikan konsistensi pendampingan dalam jangka waktu yang diwajibkan sesuai kebutuhan proses.
Selain mendidik kewirausahaan di kalangan pelajar SMP dan SMA, pemerintah mesti serius memetakan titik-titik ekonomi rakyat dengan memberikan arahan, gagasan, pengemasan, marketing dan seterusnya. Jangan biarkan usaha rakyat hanya bisa produksi tapi gagal market. []
Salam takzim. Fuad Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar