Muhamad Khozin. Pengasuh Pesantren Sumur Blandung, Tegowanuh, Kaloran Temanggung. [Foto Mas Par Ars) |
Talkshow Radio Fast FM
Jumat tanggal 8 pebruari 2013
Pukul 19:00-20:00 Wib,
Tema: Budaya dan Kepemimpinan
Temanggung. Bersama Bapak Kiai Muhamad Khozin,
Seorang pengasuh Pondok Pesantren Sumur Blandung, Tegowanuh, Kecamatan Kaloran
Kabupaten Temanggung.
PROLOG:
Budaya. Istilah ini akrab kita dengar, tetapi sekaligus sering sulit dipahami.
Kalaupun dipahami, biasanya dengan cara yang kurang akurat. Misalnya, budaya
seolah-olah dipahami hanya sebagai kegiatan seni atau merawat simbol sejarah.
Padahal budaya dalam pengertian yang hakiki merupakan bagian terpenting dari
dinamika hidup umat manusia. Terkait dengan situasi sekarang, terutama dengan
Kabupaten yang akan punya gawe pilkada, yaitu kabupaten Temanggung, pentinglah
kiranya kita membicarakan kebudayaan secara tepat. Kali ini fast Fm mengajak
Anda sekalian untuk membicarakan masalah kepemimpinan dari sudut pandang
kebudayaan. Ini penting karena bagaimanapun juga seorang pemimpin (bupati dan
wakil) merupakan bagian utama dari masyarakat yang harus benar-benar mengerti
kebudayaan secara substansial, bukan hanya mengerti secara serampangan sebagai
kegiatan seni-budaya.
Sudah hadir narasumber dari Temanggung yang cukup
kompeten untuk membicarakan masalah ini. Selamat malam Bapak Muhamad Khozin….
Saya perkenalkan, narasumber kita ini dikenal
sebagai seorang mubalig, kiai yang mengasuh santri, dan juga seorang pecinta
seni budaya. Beliau asal dari Tegowanuh, Kecamatan Kaloran, Kabupaten
Temanggung. Pernah juga menjadi anggota DPRD Temanggung. Usianya cukup matang?
Berapa…..?
Kumisnya cukup merangsang untuk berdialog, tatapan
matanya memancarkan wibawa. Dan suara tawa-nya cukup khas kita dengar. Bapak
Khozin, lagi-lagi ini urusan Temanggung. Pekan sebelumnya K.H yakob Mubarok
hadir ke studio kami dan berbicara mengenai potensi kepemimpinan lokal
Temanggung. Sekarang Anda berkenan hadir ke Fast Fm. Dan kami punya tema
menarik untuk Anda wicarakan, yaitu hubungan antara kepemimpinan dan
kebudayaan. Nah, saya ingin memulai dari satu pertanyaan, sebenarnya kenapa sih
kita ini harus bicara kebudayaan?
Apa
pentingnya? Apa manfaatnya? Apa tidak sebaiknya kita bicara uang, sandang,
papan, dan makan yang nota bene dianggap
kebutuhan primer masyarakat?
O, terimakasih. Selamat malam. Ini tema yang menantang sekaligus menarik. Budaya,
mari mula-mula kita pahami secara hakiki. Mulanya kita lihat dari sisi lughot
atau bahasa, budaya itu muasal katanya dari bahasa Sansekerta Mas. Lafalnya
yang tepat ialah buddhayyah, sebuah kata jamak dari kata budhi. Nah, dari sisi
mufrodat seperti ini kita bisa menafsir dalam bahasa Indonesia sekarang sebagai
akal. Lalu kita punya istilah akal-budi. Itu penjelasan kontekstual bahwa akal
dan budi, atau lebih mudahnya, pemikiran dan kepribadian manusia merupakan tema
sentral kehidupan bermasyarakat. Jadi kalau kita bicara kepemimpinan jelas, ini
memiliki temali yang erat berkait. Mustahil seorang pemimpin yang baik tidak
memiliki akal dan pekerti yang baik, mustahil pula kita mendapatkan manusia
yang berkarakter mulia tanpa pegangan akal dan etika yang baik.
Jadi,
berbicara budaya itu bukan pada kesenian atau merawat situs, nyadran, atau yang
lain?
Ya, sebenarnya bisa saja itu menjadi bagian
kebudayaan. Tapi kita harus jeli untuk mendudukkan hakikat dasarnya. Jangan
setiap berpikir budaya atau kebudayaan pikiran kita buru-buru lari ke urusan
seni. Kita mesti menggali esensinya dari basis dasarnya, yakni akal dan budi
tadi.
Menarik
pak Khozin. Ini membuka cakrawala kita. Tapi kemudian saya harus bertanya,
mengapa kebanyakan dari kita selalu berpikir urusan budaya adalah urusan seni?
Ya, ini kesalahan mendasar yang sudah terlanjur.
Tapi kita tidak boleh larut dengan pemahaman yang rancu. Dulu urusan seni dan
budaya dicampurkan dengan pariwisata. Itu juga carapandang yang salah dan turut
banyak memberi konstribusi kesalahan. Kalau pendidikan dan kebudayaan tentu
masih ada hubungannya dan saya sepaham dengan hal itu karena bagaimanapun juga
budaya dalam masyarakat adalah urusan akal dan pekerti. Dan dengan cara pandang
seperti itu kita bisa melihat cakrawala yang lebih luas dengan membicarakan
budaya dalam konteks yang lebih teknis, seperti budaya kerja, budaya bergaul,
budaya membaca, budaya menulis, budaya mengkaji atau ngaji, budaya….budaya yang
lain.
Oke,
Saya bisa memahami kerangka pemikiran Anda. Dan terkait hal ini pastinya urusan
budaya merupakan urusan penting bagi manusia ya?
Oh ya. Dengan kebudayaan sebagai kata sifat, atau
manusia yang berbudaya atau istilah arabnya ber-adab, atau bertamadun, kita
akan bisa melihat bahwa budaya itu menentukan maju mundurnya kehidupan kita.
Kita bisa melihat kelemahan masyarakat misalnya dengan kacamata budaya.
Misalnya ada anak miskin dan sulit bangkit unttuk kecukupan hidupnya. Pasti ada
budaya yang merosot di sana. Bisa jadi karena pendidikan, lingkungan yang membuat
dirinya malas bekerja, keluarganya yang kurang memperhatikan etika, atau karena
pergaulan yang salah. Di sini budaya jelas berperan.
Ya.
Itu bagus. Lalu bagaimana dengan budaya masyarakat kita di Temanggung, magelang
dan sekitarnya menurut pak khozin?
Nah, kalau menilai sebuah peradaban, saya kira
harus dengan kehati-hatian ya. Jujur kita minim kemajuan. Kita bisa berbanding
dengan masyarakat pesisir utara yang dalam banyak hal lebih maju, utamanya
pemikiran, karir orang per-orang dan seterusnya. Mengapa kita kalah maju?
Pertama karena budaya kita di pedalaman ditentukan oleh siklus hidup pertanian
atau agraris yang vakum, stagnan, dan kurang termotivasi untuk maju. Sifat
menunggu banyak dilakukan kita. Ini dipengaruhi oleh kebiasaan, tradisi, atau
budaya tani. Petani itu kalau mau tanam menungu musim, mau ke jualan juga
menunggu musim, sampai-sampai mau kawin juga menunggu jodoh. Beda dengan kultur
dagang di pesisir atau di metropolitan yang hidup dengan pola mengejar. Kalau
kita bisa menikmati sikap menunggu, orang di lingkungan industri tidak sabar
menunggu. Mereka bergerak dinamis. Nah, kita memang punya kelebihan yaitu sifat
sabar…tapi maaf, tidak semua hal dengan kesabaran itu baik. Salahsatu buktinya
ya itu tadi, sabar menunggu tapi nyatanya sulit maju. Haha….
Baik.
Ini bagian dari kritik yang konstruktif, atau cermin jernih dari seorang kiai
yang memahami kebudayaan. Saya jadi ingat, beberapa minggu lalu seorang
Budayawan Besar, Remy Sylado (mungkin pak khozin pernah dengar nama itu?).Ya
beliau beberapa minggu lalu singgah ke Fast Fm dan mengadakan dialog di
Temanggung. Soal budaya, seni dan seterusnya. Bahkan beliau memperhatikan
masalah Temanggung sampai-sampai memberikan nasihat-nasihat bijak kepada
kandidat Bupati, terutama kepada Bapak Fuad Hidayat. Menurut pak Khozin,
sebenarnya seorang kepala daerah apakah harus memiliki pemahaman budaya yang
baik?
Oh, ya kalau Remy Sylado saya pikir generasi saya
tahu semua. Beliau memang seorang tokoh seni terkemuka. Banyak karya seni yang
sudah masyur. Dan kalau beliau memberikan nasihat seperti itu, itu artinya
beliau berjiwa besar. Beliau juga dikenal sering memberi masukan seni budaya
kepada orang-orang pemerintah pusat, bahkan tak segan mengkritik presiden atau
menteri. Nah, kalau Mas Fuad Hidayat mendapatkan saran dan nasehat dari beliau
dan mau mendengarkan itu sangat luar biasa. Artinya satu langkah lebih maju
karena terus terang jarang para politisi dan birokrat yang mau melek soal
kebudayaan. Paling-paling bupati atau politisi itu memahami kebudayaan melalui
cara yang dangkal dan tanpa pengembangan langkah yang lebih lanjut. Dan memang
seorang kepala daerah wajib memahami kebudayaan secara tepat dan mendasar.
Utamanya untuk pembangunan karakter, kepribadian, akhlak, etika, dan etos
kerja.
Lalu
tugas Bupati dalam urusan kebudayaan ini bagaimana?
Ya itu. Berbudaya itu artinya kemampuan
mengembangkan kepemimpinan dengan akal-budi. Orang eropa punya istilah
aufklarung, atau pencerahan sebagai slogan untuk kemajuan guna meraih peradaban
yang lebih tinggi. Orang Iran punya istilah Tamadun untuk menyaingi kebudayaan
barat dengan pengembangan pemikiran rauhsan
fikr, atau revolusi pemikiran dan kita sebenarnya punya istilah yang bagus
dikembangkan oleh Pendiri bangsa ini, yaitu Pancasila dengan lima sila yang sebenarnya
sangat luhur untuk pengembangan kebudayaan atau peradaban manusia. bahkan Bung
Karno juga menegaskan dengan istilah Tri Sakti, yakni tiga kesaktian untuk
modal hidup kita, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian
secara sosial budaya.
Dan saya juga ingin mengapresiasi pada sikap
berbudaya dari Simbah K.H Chudlori, guru kita semua, yang pernah menuliskan
dalam sebuah catatan lamanya. Catatan ini belum banyak diketahui oleh
santri-santri sekarang. Saya sangat beruntung mendapatkan beberapa catatan
bijak dari Almahfurlah Simbah Haji Chudlori. Salahsatu catatan yang penting
saya sampaikan dalam hal kebudayaan ini saya bacakan sebagai berikut: “Negara Indonesia saat ini bermain/berjuang
jangan hanya jadi penonton saja. Harus terjun. Hidup manusia hidup yang
berakal/berpikir. Berarti manusia yang berakal berpandangan, berpedoman hidup
berpendirian hidup yang sudah diberi contoh (Nabi Muhamad). Orang yang
bertambah derajatnya tentu bertambah besar musuhnya. Setiap perkara yang bertambah
kebaikannya harus bertambah baik perawatannya…”
Menarik
sekali. Saya pun baru tahu kalau ada catatan dari Simbah Chudlori yang seperti
ini. Pak Khozin dapat dari mana itu?
O, ada. Seorang penulis yang pernah meneliti dokumen lama di Pondok Tegalrejo
menemukan hal tersebut dan menyampaikan kepada saya.hehe..
Baik
Pak Khozin. Kita lanjut pada soal kepemimpinan. Karena perihal kebudayaan tadi
sudah jelas, saya ingin masuk pada soal yang lebih konkret yaitu soal
kepemimpinan. Dan tadi nasihat simbah Chudlori dari sebuah catatan tersebut
menyebut kata negara,berjuang, penonton, pedoman, derajat dan perawatan.
Bagaimana nasihat baik ini dikaitkan dengan situasi Temanggung yang sedang
mencari pemimpin (bupati)?
Ya, itu jelas. Kata negara menunjukkan simbah Chudlori
sangat nasionalis. Beliau memberikan perhatian pada negara sekalipun tidak
pernah jadi politisi apalagi nyaleg. Hehe…beliau juga memperhatikan komitmen
hidupnya dengan istilah berjuang, artinya berusaha sekuat mungkin, tidak malas,
tidak banyak menunggu, melakukan apa yang bisa dilakukan dan seterusnya. dan
berjuang bukan berarti beras baju dan uang lho….lalu kata penonton, ini
menarik. Kita ini bekas negara jajahan, sering jadi bangsa yang mudah melihat
tapi tidak aksi, sering jadi konsumen dan tidak mahir berproduksi, artinya kita
belum berdaulat secara ekonomi, belum merdeka secara politik. Lalu kata pedoman
juga mengisyaratkan kita ini sering hidup tanpa pola yang jelas. Karena itu
seorang pemimpin, dalam hal ini bupati juga wajib punya pedoman atau kaidah.
Jangan asal menang, jangan asal memimpin. Bupati dan wakil yang berbudaya, atau
lebih pas-nya beradab haruslah yang memegang kaidah. Misalnya punya visi dan
misi yang jelas, punya target yang masuk akal, punya program yang terencana,
punya sikap yang tegas, punya tanggungjawab dengan bekerja keras dan tidak
mengutamakan keluarga atau golongannya sendiri. Punya upaya untuk mendengar dan
juga melaksanakan masukan yang baik dari warga, dan seterusnya. Jadi simple
saja untuk Temanggung, bupatinya harus punya pemikiran yang luas, berani tampil
ke depan dengan kelebihan dan kekurangannya.
Kalau
sudah begini, pak khozin sendiri sudah punya pilihan?
O, ya. Saya bersyukur dimudahkan Allah dengan
beberapa pilihan kandidat itu untuk menjatuhkan pilihan. Fuad Hidayat punya
potensi untuk mendengar banyak hal.
Alasannya?
Dia memang tidak ideal itu benar. Tapi mana ada
kandidat yang ideal? Yang ada adalah kandidat yang paling baik dari yang kurang
baik, atau bahkan dalam urusan memilih itu kita boleh berpijak pada kerangka
pikir “pilih yang buruk dari pilihan lain yang lebih buruk.” Dan harap
dipahami, sekarang ini di Temanggung sudah mulai menggejala trend dukungan
kepada Fuad. Ini merupakan fenomena yang unik di mana biasanya kandidat susah
meraih dukungan dari publik, tetapi Fuad hidayat mampu meraih dukungan itu.
Apa
penyebabnya?
Saya pikir karena masyarakat sendiri sudah cerdas
dalam menilai.Sebagian mengatakan lebih suka memilih Fuad karena programnya
yang jelas, atau karena sikapnya yang mau mendengarkan masukan. Ada pula yang
karena memiliki harapan. Kebetulan Fuad ini salahsatu kandidat yang paling muda, dan itu menyegarkan sekali. Di
tengah-tengah memudarnya sosok-sosok lama, Fuad tampil cemerlang bersama
teman-temannya menawarkan perubahan dalam berbagai bidang tanpa harus
berlebihan menawarkan janji. Saya kira ini benih-benih budaya politik yang
bagus.
Oh,
budaya politik. Ini menarik Pak Khozin. Menurut bapak, dalam politik
perbupatian di temanggung itu, budaya apa saja yang harus dikembangkan?
Ya itu tadi, Misalnya, seorang kandidat harus
mensosialisasikan programnya secara jelas. Mendapat dukungan yang baik. Tidak
boros mengeluarkan anggaran kampanye supaya tidak menimbulkan madarat. Kampanye
jangan hanya lobi-lobi dukungan, melainkan harus membaca bacaan, literatur. Itu
sangat mendidik. Artinya berbudaya. Selama ini politik kita kurang berbudaya,
kurang beradab karena hanya menjual tampang dan narsis (berbangga diri). Itu
kuno dan ketinggalan. Kita harus membangun politik yang memiliki nilai
kebudayaan yang lebih bermutu. Dan saya pikir generasi angkatan reformasi
seperti Mas Fuad hidayat dan teman-temannya, perlu berani mengambil alih
kepemimpinan untuk memajukan Temanggung lebih cepat.
Oh,ya,
tadi menyebut kata-kata muda dan reformasi. Tapi bukankah sekarang ini
aktivitas reformasi juga banyak yang tidak ubahnya dengan politisi orde baru?
Bahkan di Temanggung sendiri pernah punya bupati muda, Totok Ary Prabowo yang
digulingkan rakyat karena korupsi. Bagaimana menurut Pak Khozin?
Oh, begini. Ya kita boleh menilai sesuatu dengan
melihat hal yang umum. Tapi jangan sampai kita ini terburu-buru
menggeneralisasi setiap hal dengan cap. Cap reformasi seolah-olah semua aktivis
era reformasi pasti baik. Cap orde baru, seolah-olah orde baru pasti buruk.
Tidak demikian maksudnya. Yg ingin saya sampaikan adalah bahwa Fuad Hidayat
yang lahir dari generasi reformasi itu memiliki potensi yang pas untuk mengawal
kebijakan pemerintah di masa sekarang. Setelah lewat 10 tahun kita berpolitik,
Fuad memiliki prasyarat untuk memimpin sebuah kabupaten. Kompetensinya tidak
diragukan lagi. Kalaupun ada kekurangan itu normal. Yg penting dia mengguasai
persoalan, bisa cepat memahami arah kebutuhan masyarakat dan mau mendengarkan.
Nah, terkait dengan bupati muda Totok Ary Prabowo, itu tidak perlu dihubungkan
dengan Fuad. Antara keduanya jauh berbeda. Mulai dari kepribadian maupun
latarbelakang kiprahnya juga berbeda. Dan ketakutan pada kasus anak muda itu
justru nanti membuat kita akan berpikir mundur, lalu memilih sosok tua. Iya kalau
yg tua itu baik seperti Pak bupati Hasyim Afandi yg sekarang ini. Kalau tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar