Rasio, rasa dan empati


Percaya atau tidak, menjadi orang di depan, terlebih harus melalui kompetisi untuk dinilai banyak orang menimbulkan perasaan yang terkadang aneh. Di satu sisi khawatir dianggap narsis (berbangga diri) karena harus menampilkan tawaran-tawaran yang bagus, tetapi di lain pihak punya kewajiban untuk rendah hati.
Sebagai orang Jawa, saya merasakan kegiatan berpolitik dalam kompetisi demokrasi ini teramat pelik karena melibatkan perasaan yang mendalam. Ya, sebagai orang Timur, jagat batin kita mayoritas memang didominasi oleh rasa, bukan rasio sebagaimana orang-orang Barat.
Sekalipun didominasi perasaan, tentu bukan berarti orang-orang kita tidak berpikir dan hanya mengedepankan “emosi” melalui hati. Tetapi orang Timur, khususnya orang Jawa, memang punya tradisi memahami sesuatu dari perasaan. Maka, timbullah pengertian orang-orang cerdas terkadang bukan karena intelektual-akademik, atau kecerdasan nalar semata, melainkan karena disebabkan kebersihan batin, atau kecerdasan batiniah.
Saya percaya kebersihan hati merupakan bagian terpenting dalam upaya menjalani hidup sebagai kebaikan. Namun, saya pun harus sadar bahwa kemajuan, terlebih dalam era modern, membutuhkan kekuatan akal-budi.

Empati
Setelah merenungkan dikotomi “akal dan rasa” dalam waktu yang panjang saya melihat pentingnya “perdamaian” antara keduanya. Oleh karena hal yang demikian itu, dalam mencanangkan program memajukan Temanggung, saya akan senantiasa mempertimbangkan akal dan hati sebagai pilar gerak hidup.
Program boleh rasional, modern, teknokratis, dan sangat maju. Tetapi harus bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat banyak. Jangan sampai kebaikan kerja yang dilakukan atas dasar kekuatan akal-budi tersebut tidak memberikan maslahat umum hanya karena tidak “dirasakan” nilai keadilannya.
Sejarah kepemimpinan orang-orang besar pada akhirnya juga berurusan dengan rasa. Rasa keadilan, rasa kedamaian, rasa kesejahteraan merupakan hal yang paling utama. Sampai-sampai, cendekiawan Amerika, Daniel Goleman, merumuskan strategi kebaikan hidup melalui paradigma empati.
Kalau kita baca karya fenomenalnya, Buku “Emotional Intelligence” di sana kita akan dapatkan sejuta inspirasi tentang jalan hidup manusia dan kemanusiaan. Banyak kebijaksanaan orang-orang besar yang direkam oleh Goleman secara cerdas sebagai inspirasi gerak hidup kita. Agamawan yang besar pengaruhnya, adalah agamawan yang memiliki perhatian kasih terhadap umat manusia. Pemimpin negara yang besar juga karena perhatian empati atas rakyatnya.
Belajar dari kisah-kisah besar para pemimpin, menjadikan kita semua senantiasa perlu menekankan “rasa” sebagai cara untuk menyejahterakan masyarakat.
Kita bergerak dan bertekad memajukan kehidupan ini; memajukan ekonomi, memajukan kehidupan sosial, memajukan pendidikan, memajukan kebaikan hidup, memajukan martabat diri, senantiasa berurusan dengan rasa.

Realistis
Sekali lagi, mengedepankan rasa bukan berarti meniadakan akal-budi. Sebab kami sadar, rakyat bisa menilai lalu merasakan. Menilai itu pakai akal, dan merasakan pakai hati. Kalau kita membuat program yang tidak masuk akal, pastilah nanti akan dirasakan sebagai hal yang muluk, berlebihan, atau meminjam anak gaul sekarang, sebagai lebay.
Rakyat tidak bisa dibohongi dengan janji, apalagi jika janjinya tidak realistis, alias dirasakan tidak akan kesampaian. Rakyat berperasaan realistis, karena kita semua memang hidup dalam dunia nyata/riil.
Karena itu,pada kesempatan penyusunan program Pilkada Bupati 2013 ini, saya membuat program yang benar-benar tujuannya untuk rakyat tanpa harus disertai banyak berjanji sebagai pemanis untuk menarik perhatian semata. Apa yang kami canangkan bersama tim kolektif, atau Kelompok Kerja (Pokja) sosialisasi dan kampanye sudah melalui pertimbangan kolektif yang masuk akal dan akan bisa dilaksanakan nanti.
Dengan sungguh-sungguh berpikir dan merasakan, dunia politik yang kami lalui ini bukan semata kerja rasional untuk kompetisi akal-akalan, melainkan kerja penuh empati untuk kita semua.
Terimakasih atas perhatiannya. Saran dan masukan sangat kami harapkan.[]

Fuad Hidayat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar