Opini Fuad Hidayat di Koran Wawasan


Dari Kelas Konsumen, 
Menuju Kelas Wirausaha
Oleh Fuad Hidayat
Sumber: Koran Harian Wawasan, 25 November 2012
Belakangan ini pembicaraan tentang ekonomi global menukik ke wilayah tiga kata penting, yaitu soal pertumbuhan, krisis dan kelas menengah.
Cina dengan pertumbuhan spektakulernya telah menjadi fenomena menawan karena keperkasaan ‘nasionalisme’-nya. Adapun krisis yang melanda beberapa Negara Eropa merupakan situasi yang cukup pelik, disusul kemudian kelesuan ekonomi Amerika Serikat.
Tapi situasi seperti itu tak terlalu menyentuh kita yang berada di Indonesia karena memang sebuah pergolakan itu baru terasa jika kita sendiri yang merasakan, sebagaimana saat kita merasakan secara langsung krisis ekonomi 1998 lalu.
Lain dari itu, dalam rentang 10 tahun terakhir, masyarakat Indonesia, (maksudnya ialah kelas menengah) merasakan perkembangan demi perkembangan. Kata berkembang di sini tak ada hubungannya dengan istilah marginal sebagai negara berkembang. Ya, kita tidak lagi sebagai negara berkembang mengingat jumlah kelas menengah Indonesia dengan penghasilan yang semakin makmur, cukup banyak.
Pada tahun 2010 lalu, Asian Development Bank (ADB) menilai, bisa disebut kelas menengah, atau lebih tepatnya tidak miskin kalau seseorang itu memiliki penghasilan minimal $2. Sekalipun angka minimal itu tidak cukup tepat untuk sekarang, tapi kalau nekad kita naikkan menjadi $3 rasanya sudah cukup.
Nah, kelas menengah di Indonesia, yaitu mereka yang memiliki rentang kemampuan konsumsi antara $ 2-20, jumlahnya hampir mendekati angka 50 juta, dari jumlah penduduk 239 juta jiwa.
Di dalam rentang tersebut, memiliki tiga varian, yaitu golongan terendah (lower middle class) dengan rentang pengeluaran per kapita antara $ 2-4, golongan menengah-menengah (middle-middle class), dengan rentang pengeluaran per kapita antara 4-10, dan kelas menengah atas (upper-middle class) dengan rentang pengeluaran per kapita antara 10-20.

Watak kelas
Lepas dari hitungan seperti itu, ada dua fenomena yang paling penting untuk dijadikan refleksi. Pertama, watak dari kelas akibat pertumbuhan tersebut. Kedua, kenyataan orang miskin di bawah penghasilan $2 yang terus menjadi persoalan bersama.
Watak kelas menengah biasanya dianggap memberikan banyak kemajuan. Bisa jadi maju dalam pendidikan, pengetahuan, atau bisa pula cuma maju sebagai masyarakat borjuis konsumeris. Jadi, perkembangan atau pertumbuhan memang selalu membuat efek. Bisa baik, bisa pula hanya sebagai efek dari alamiah dari evolusi ekonomi.  
Di sini, kita patut prihatin mengingat golongan kelas menengah di Indonesia masih berkutat pada evolusi alamiah tersebut. Di sana sini terlihat konsumerisme merajalela. Produk teknologi baru selalu menjadi primadona untuk diburu, dan bangsa kita menjadi bangsa konsumen, yang tentu itu menguntungkan banyak produsen teknologi dari negara lain karena kita produsen dalam negeri hanya secuil dari gurita produk-produk asing.
Bahkan satu hal yang cukup mengherankan, tingkat pertumbuhan kelas menengah tersebut tidak lantas memajukan jumlah wirausahawan nasional. Kita masih rendah dalam urusan kewirausahaan. Wapres Budiono misalnya, menyebut sampai saat ini, baru 1,56 % dari jumlah penduduk yang menjadi wirausahawan. Angka ini menegaskan kita keok dibanding Malaysia ( 4%) Thailand (4,51%) dan Singapura (7,2%).
Dengan angka rendahnya kewirausahaan tersebut paling tidak menegaskan dua hal utama. Pertama, perkembangan ekonomi masih bergerak dari perusahaan-perusahaan besar dengan daya serap karyawan yang makin banyak. Kedua, kalaupun tidak muncul dari perusahaan besar, biasanya perusahaan kecil yang lama yang meningkat sehingga menumbuhkan perkembangan jumlah tenaga kerja.
Itulah mengapa kalau pada akhirnya setiap laporan ekonomi dari pemerintah disampaikan, penyerapan angkatan tenaga kerja meningkat, tetapi sejalan itu jumlah penduduk yang terus meningkat tetap saja mempertahankan jumlah pengangguran legal, maupun pengangguran terselubung tak kunjung berkurang secara signifikan.

Menuju kelas tangguh
Dengan kenyataan minimnya wirausahawan, menegaskan pula bahwa peluang untuk mengurangi pengangguran telah banyak disia-siakan. Kelas menengah yang itu kebanyakan merupakan karyawan, artinya pendapatannya bergantung pada gaji, memiliki karakter dasar miskin kreativitas karena ditekan bekerja waktu dan pikirannya terlanjut komitmen mengurus tugas di tempat kerja, dan jiwanya penakut hidup mandiri karena kebiasaan bergantung pada upah rutin bulanan.
Memang, dalam situasi stabil mereka diamankan situasinya oleh gaji sehingga pada level tertentu berani menjadi konsumer, bahkan hedonis. Jika gaji tak cukup untuk belanja kebutuhan sekunder, mereka pun sekarang dimudahkan dengan cara pragmatis ngutang melalui kartu kredit untuk melayani nafsu konsumtifnya.
Kenyataan bahwa kelas menegah kita belum bisa menjadi tonggak lahirnya kemajuan ekonomi secara langsung sudah dijawab oleh fakta minimnya wirausahawan.
Kita percaya peranan teknologi sering mampu mendorong perbaikan ekonomi. Tetapi teknologi popular sekarang, yaitu internet, masih belum memungkinkan untuk sebuah peningkatan wirausaha yang signifikan karena belum didorong ke arah transformasi keilmuan secara nyata.
Mentalitas untuk menjadi wirausahawan mestinya lebih diperhatikan dalam bentuk pendikan (pelatihan, training, diskusi dll). Sekalipun saat ini pelayanan usaha relatif baik, tetapi di berbagai daerah ijin usaha terkadang menjadi ganjalan, kurang efektif dan sering menyusahkan golongan usaha mikro kecil di pedesaan.
Pada sisi lain, aspek modal untuk usaha, selain diperkuat, butuh pendampingan lebih nyata, konkret dan melibatkan kalangan wirausahawan yang sudah maju untuk berbagi ilmu, dan pengalaman. Kita tak bisa hanya berharap muncul kelas menengah yang tangguh dari para wirausahawan jika tidak serius mendorong gerakan kewirausahaan. []

Penulis adalah ketua Komisi A DPRD I Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar