Etika Bisnis


Suatu hari di dalam perjalanan pulang dari acara diskusi ekonomi di Jumo, mendadak saya ingin menuliskan pengalaman reflektif saya berkaitan dengan masalah etika dalam dunia bisnis.
Terdapat pertanyaan, atau lebih tepat keluhan dari seorang peserta yang mengatakan, “zaman sekarang kalau bisnis tidak berbohong tidak akan berhasil, kalau di pasar tidak
menipu, sulit untung, kalau menimbang secara pas tidak akan baten, dan seterusnya.”
Pendek kata, pak karno, demikian nama bapak tersebut, menyampaikan, “zaman edan, nek ora edan ora keduman.” Saya paham, Pak Karno adalah orang baik hati, dan tidak ingin melakukan perbuatan tercela itu. Ia menyampaikan pandangan seperti bukan maksud untuk sepakat melakukan tindakan tidak terpuji.
Jauh dari pikiran itu, beliau sebenarnya sedang ingin mengatakan, “betapa sulitnya berekonomi secara baik di masa sekarang karena di lingkungan sekitarnya penuh tipu-daya.”
Kita bisa memaklumi persoalan tersebut. Karena masalah ini sudah menjadi persoalan umum, saya mencoba merenungkan secara mendalam.
Mari kita bicarakan satu persatu.

Bisnis Harus Curang?
Sebenarnya bukan harus. Tetapi mungkin karena kita hidup dalam arena bisnis yang kurang baik, sehingga seolah-olah menipu menjadi strategi. Ada pepatah, “kita punya budaya curang”. Padahal sebenarnya kecurangan bukan budaya, sebagaimana korupsi juga bukan budaya. Tetapi karena sudah berlaku umum, kemudian dianggap sebagai kebudayaan.
Jelas praktik ini  jauh dari ajaran agama, tidak sejalan pula dengan teori-teori motivasi bisnis yang humanis. Dalam urusan bisnis, motivator sering menyarankan agar kita berbuat baik, tidak menjual barang yang cacat, melayani konsumen secara baik, jangan bikin kecewa. Saat mengemas barang, juga harus bagus. Singkat kata, sebagai pemain bisnis, kita dituntut untuk memandang konsumen sebagai raja.
Tapi apa daya, kenyataan memang sudah sedemikian jauh dari etika.
Bagaimana menyikapi hal ini?
Buat saya, bisnis itu bagian dari aktivias sosial manusia melalui jalur ekonomi. Kasarnya, urusan mencari makan. Tapi mencari makan tentu tidak sembarangan. Bahkan dalam dunia perhewanan sekalipun tetap ada “etika” untuk tidak saling memakan jatah makan spesies lain. Hewan jenis A bisa mencari makan di area tertentu, hewan B berkoloni mencari makan di tempat lain, demikian seterusnya.
Tetapi memang, pada hewan pemangsa, kita diperlihatkan tontonan kanibal yang itulah kemudian menjadikan kepunahan spesies-spesies lemah dimangsa. Spesies yang kuat cenderung memangsa yang lemah, dan akhirnya mengakibatkan kepunahan. Ketika spesies lemah menyusut, spesies kuat bertaring itu kekurangan pasokan makanan. Pada akhirnya yang mengalami kepunahan bukan hanya spesies lemah, melainkan spesies yang kuat juga. Ngeri bukan?
Manusia, dengan tingkat akal-budi lebih tinggi, tentu seharusnya  menyadari bahwa urusan perut mestinya harus mengedepankan kepentingan bersama. Satu alasan, kita hidup tidak bisa sendirian. Kalau kita berdagang tetapi konsumen merugi, mereka akan kecewa dan mencari pedagang lain yang lebih dipercaya. Sebagai pedagang kita akan rugi kalau kehilangan konsumen. Kita butuh loyalitas konsumen. Bahkan terkadang, pelayanan lebih baik dari sekadar memurahkan harga. Kita tidak bisa hanya mengandalkan sistem penjualan dengan harga murah kalau pelayanan buruk, apalagi jika barangnya mengecewakan.
Kita harus beruntung dalam berdagang, tapi sebaik-baiknya keuntungan mestinya yang tidak perlu merugikan orang lain. Begitu pun jadi konsumen, saat membeli kita boleh menawar harga rendah, tetapi kita harus tahu juga bahwa penjual membutuhkan keuntungan.
Membeli dengan pola selalu murah juga tidak selalu baik sebab belum tentu kemurahan harga menjamin kualitas barang yang kita beli. Ada pepatah, “ono rego ono rupo”. Maksudnya, timbulnya harga lebih tinggi bukan karena keinginan penjual, melainkan karena kualitas barangnya.
Dengan pengertian tersebut, moga-moga bisa sedikit membantu solusi keruwetan ini.[]

Fuad Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar