Opini Fuad Hidayat di Koran Jurnal-Nasional

Pancasila, Karakter dan Prokemajemukan
Jurnal Nasional | Rabu, 12 Dec 2012
Fuad Hidayat
Intelektual Muda NU. Mahasiswa Program Doktoral Administrasi Publik Universitas Diponegoro Semarang.
BELAKANGAN ini, diskursus tentang penggalian nilai dan penyebarluasan gagasan Pancasila semakin menguat. Setelah melihat perkembangan dua tahun terakhir ini, ternyata latar-belakang kemunculannya setidaknya berasal dari dua hal. Pertama, dari fakta sosiologis; karut-marut Indonesia dengan segenap kompleksitas persoalan hidup.
Kedua, disebabkan ketiadaan jalan lain--selain Pancasila--sebagai pilar hidup bersama dalam ruang ke-Indonesiaan yang majemuk.
Satu hal yang mula-mula harus diapresiasi bahwa ternyata munculnya wacana penguatan kembali nilai dan semangat Pancasila itu muncul dari golongan intelektual muda Indonesia yang berada di luar struktur pemerintahan. Ini merupakan satu kebanggaan tersendiri di mana kelas menengah Indonesia memiliki keseriusan yang mendalam untuk menemukan jati-diri kebangsaaan dalam konteks mencari solusi hidup bermasyarakat sekaligus upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sungguh ini merupakan suatu langkah maju mengingat selain kemerosotan moral (atau lebih tepatnya kerusakan karakter), terdapat fakta bahwa banyak kelompok masyarakat yang berpikir hendak menolak Pancasila dengan ide agama, karena alasan mayoritas. Pada titik ini, dahulu Pancasila kita abaikan karena dengan menyebut istilah itu saja kita malas karena identik dengan Orde Baru, atau Soeharto.
Tetapi sekarang terdapat pula "kemalasan" dengan Pancasila akibat demokrasi politik tidak berjalan semestinya. Itulah mengapa, selain kerusakan citra demokrasi, terdapat pula ketidakpercayaan dari kaum ekstremis berbaju agama pada institusi kebangsaan yang mendasar (Pancasila), dan menginginkan institusi impor dengan istilah pemerintahan berbasis monolitik, yaitu khilafah.

Kehilangan Teladan
Harus diakui, bahwa gagasan menggali dan menyebar-luaskan ide Pancasila merupakan hal yang penting. Utamanya karena masyarakat kita sedang kehilangan teladan akibat tidak mendapatkan contoh laku hidup yang baik dari para elite negara maupun politisi. Bahkan banyak kalangan agamawan kehilangan kepercayaan.
Dalam situasi masyarakat yang masih mewarisi nilai-nilai feodalisme, patronase merupakan hal yang lumrah. Karena itu, contoh hidup "orang atas" mesti diperhatikan. Gaya hidup sederhana, laku puritan dan sikap gaul terhadap sesama, telah pudar yang kemudian itu berimplikasi pada "jarak pemisah" antara masyarakat berkelas menengah dan elite dengan masyarakat kelas bawah.
Hal itu bagian dari moral, etika, adab, atau sila, yang oleh kalangan cerdik-cendekia disebut kemerosotan karakter. Kata sila yang notabene sepaham dengan karakter memungkinkan menjawab persoalan Indonesia. Maka, dengan menimbang kembali Pancasila jelas hal tersebut merupakan cara terbaik.
Pada alasan kedua di atas, yaitu ketiadaan jalan lain, maka ini merupakan suatu berkah bagi kita semua yang menginginkan pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh. Sepanjang jalan reformasi semenjak 1998, kita terseok-seok menyusuri derap hidup. Banyak persoalan antar golongan, agama, etnik dan juga organisasi yang kehilangan semangat kebersamaan. Bahkan sampai masalah individu sekalipun, kita bukan lagi masyarakat yang memegang nilai gotong royong, melainkan lebih suka memegang sikap egois untuk urusan pribadi.
Lelah sepanjang 10 tahun perjalanan, kemudian sekarang memasuki usia reformasi ke-15, kita mencari jalan, dan itulah Pancasila. Tak usah disebut pragmatis karena kita hanya menemukan Pancasila. Justru dengan kembali menggali nilai-nilai Pancasila tersebut, kita sesungguhnya sedang disadarkan oleh kekuatan luar biasa hebat dari spirit/ruh kebangsaan yang digagas oleh founding father kita dalam membentuk nasionalisme bangsa Indonesia.

Gus Dur dan Minoritas
Kasus-kasus intoleransi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih tinggi. Menurut data Setara Institute, tahun 2011 terdapat 244 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang berbentuk 299 tindakan. Peristiwa itu terpantau di lima provinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu: Jawa Barat (57), Sulawesi Selatan (45), Jawa Timur (31), Sumatera Utara (24), dan Banten (12).
Serangkaian data tersebut memperlihatkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara belum menjadi way of life sebagian masyarakat kita dalam bernegara. Data di atas menggambarkan bagaimana sesama warga negara sendiri pun masih saling menghakimi. Melihat banyaknya kasus intoleransi, kita kemudian ingat terhadap sosok Gus Dur. Ia adalah tokoh pluralisme yang hadir paling depan membela kaum minoritas ketika negara "tidak" menunaikan kewajibannya melindungi warganya.
Dan setiap kali bicara Pancasila, maka pikiran saya langsung tertambat pada sosok besar yang sangat gigih membela kepentingan bangsa dengan mengedepankan Pancasila sebagai solusi. Dialah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang telah banyak melakukan itu. Demi kepentingan NKRI dan amal kebaikan kebangsaan, ia rela meninggalkan kepentingan sempit golongannya, bahkan kelompok agamanya untuk kepentingan bersama dan memberikan pembelaan terhadap golongan lain yang sedang teraniaya. Teman-teman Tionghoa tentu merasakan bagaimana jasa Gus Dur dalam hal ini. Begitu juga kelompok nonmuslim lainnya.
Melalui amal kepancasilaan dalam berpolitik dan berbudaya, Gus Dur memberi teladan kepada kita agar percaya bahwa hanya dengan Pancasila itulah kita bisa menjalankan ajaran agama yang kita yakini. Bahwa dengan berpancasila, orang Islam tidak akan menjadi kafir, melainkan justru menjadi semakin Islami karena mengamalkan Pancasila dalam konteks kehidupan Indonesia merupakan sikap untuk mewujudkan rahmatan lil a'lamin.
Jadi, patutlah kita berbahagia manakala usaha gerakan "berpancasila" itu semakin melaju, bahkan akan masuk ke dalam kurikulum sekolah. Kita tidak perlu trauma dengan Pancasila gaya Orde Baru, karena, sekali lagi, Pancasila memberikan ragam tafsir.
Ke depan, agar Pancasila lebih kuat tertanam pada jiwa anak bangsa, perlulah digagas metode berpikir ala Pancasila, metode hidup ala Pancasila, menjadi manusia ideal ala Pancasila, dan seterusnya. Jadi, Pancasila bukan sekadar dijadikan bimbingan moral atau sekadar alasan politis saat berdebat, melainkan sebagai cara berpikir, menalar, dan memandang persoalan hidup. http://www.jurnas.com/halaman/6/2012-12-12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar