Pancasila, Karakter dan Prokemajemukan
Fuad
Hidayat
Intelektual
Muda NU. Mahasiswa Program Doktoral Administrasi Publik Universitas Diponegoro
Semarang.
BELAKANGAN
ini, diskursus tentang penggalian nilai dan penyebarluasan gagasan Pancasila
semakin menguat. Setelah melihat perkembangan dua tahun terakhir ini, ternyata
latar-belakang kemunculannya setidaknya berasal dari dua hal. Pertama, dari
fakta sosiologis; karut-marut Indonesia dengan segenap kompleksitas persoalan
hidup.
Kedua, disebabkan ketiadaan jalan lain--selain Pancasila--sebagai pilar hidup bersama dalam ruang ke-Indonesiaan yang majemuk.
Kedua, disebabkan ketiadaan jalan lain--selain Pancasila--sebagai pilar hidup bersama dalam ruang ke-Indonesiaan yang majemuk.
Satu
hal yang mula-mula harus diapresiasi bahwa ternyata munculnya wacana penguatan
kembali nilai dan semangat Pancasila itu muncul dari golongan intelektual muda Indonesia
yang berada di luar struktur pemerintahan. Ini merupakan satu kebanggaan
tersendiri di mana kelas menengah Indonesia memiliki keseriusan yang mendalam
untuk menemukan jati-diri kebangsaaan dalam konteks mencari solusi hidup
bermasyarakat sekaligus upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sungguh
ini merupakan suatu langkah maju mengingat selain kemerosotan moral (atau lebih
tepatnya kerusakan karakter), terdapat fakta bahwa banyak kelompok masyarakat
yang berpikir hendak menolak Pancasila dengan ide agama, karena alasan
mayoritas. Pada titik ini, dahulu Pancasila kita abaikan karena dengan menyebut
istilah itu saja kita malas karena identik dengan Orde Baru, atau Soeharto.
Tetapi
sekarang terdapat pula "kemalasan" dengan Pancasila akibat demokrasi
politik tidak berjalan semestinya. Itulah mengapa, selain kerusakan citra
demokrasi, terdapat pula ketidakpercayaan dari kaum ekstremis berbaju agama
pada institusi kebangsaan yang mendasar (Pancasila), dan menginginkan institusi
impor dengan istilah pemerintahan berbasis monolitik, yaitu khilafah.
Kehilangan
Teladan
Harus
diakui, bahwa gagasan menggali dan menyebar-luaskan ide Pancasila merupakan hal
yang penting. Utamanya karena masyarakat kita sedang kehilangan teladan akibat
tidak mendapatkan contoh laku hidup yang baik dari para elite negara maupun
politisi. Bahkan banyak kalangan agamawan kehilangan kepercayaan.
Dalam
situasi masyarakat yang masih mewarisi nilai-nilai feodalisme, patronase
merupakan hal yang lumrah. Karena itu, contoh hidup "orang atas"
mesti diperhatikan. Gaya hidup sederhana, laku puritan dan sikap gaul terhadap
sesama, telah pudar yang kemudian itu berimplikasi pada "jarak
pemisah" antara masyarakat berkelas menengah dan elite dengan masyarakat
kelas bawah.
Hal
itu bagian dari moral, etika, adab, atau sila, yang oleh kalangan
cerdik-cendekia disebut kemerosotan karakter. Kata sila yang notabene sepaham
dengan karakter memungkinkan menjawab persoalan Indonesia. Maka, dengan
menimbang kembali Pancasila jelas hal tersebut merupakan cara terbaik.
Pada
alasan kedua di atas, yaitu ketiadaan jalan lain, maka ini merupakan suatu
berkah bagi kita semua yang menginginkan pilar Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) tetap utuh. Sepanjang jalan reformasi semenjak 1998, kita
terseok-seok menyusuri derap hidup. Banyak persoalan antar golongan, agama,
etnik dan juga organisasi yang kehilangan semangat kebersamaan. Bahkan sampai
masalah individu sekalipun, kita bukan lagi masyarakat yang memegang nilai
gotong royong, melainkan lebih suka memegang sikap egois untuk urusan pribadi.
Lelah
sepanjang 10 tahun perjalanan, kemudian sekarang memasuki usia reformasi ke-15,
kita mencari jalan, dan itulah Pancasila. Tak usah disebut pragmatis karena
kita hanya menemukan Pancasila. Justru dengan kembali menggali nilai-nilai
Pancasila tersebut, kita sesungguhnya sedang disadarkan oleh kekuatan luar
biasa hebat dari spirit/ruh kebangsaan yang digagas oleh founding father kita
dalam membentuk nasionalisme bangsa Indonesia.
Gus Dur dan Minoritas
Kasus-kasus
intoleransi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih tinggi. Menurut data
Setara Institute, tahun 2011 terdapat 244 peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan yang berbentuk 299 tindakan. Peristiwa itu terpantau di
lima provinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu: Jawa Barat (57),
Sulawesi Selatan (45), Jawa Timur (31), Sumatera Utara (24), dan Banten (12).
Serangkaian
data tersebut memperlihatkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara belum menjadi
way of life sebagian masyarakat kita
dalam bernegara. Data di atas menggambarkan bagaimana sesama warga negara
sendiri pun masih saling menghakimi. Melihat banyaknya kasus intoleransi, kita
kemudian ingat terhadap sosok Gus Dur. Ia adalah tokoh pluralisme yang hadir
paling depan membela kaum minoritas ketika negara "tidak" menunaikan
kewajibannya melindungi warganya.
Dan
setiap kali bicara Pancasila, maka pikiran saya langsung tertambat pada sosok
besar yang sangat gigih membela kepentingan bangsa dengan mengedepankan
Pancasila sebagai solusi. Dialah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang telah
banyak melakukan itu. Demi kepentingan NKRI dan amal kebaikan kebangsaan, ia
rela meninggalkan kepentingan sempit golongannya, bahkan kelompok agamanya
untuk kepentingan bersama dan memberikan pembelaan terhadap golongan lain yang
sedang teraniaya. Teman-teman Tionghoa tentu merasakan bagaimana jasa Gus Dur
dalam hal ini. Begitu juga kelompok nonmuslim lainnya.
Melalui
amal kepancasilaan dalam berpolitik dan berbudaya, Gus Dur memberi teladan
kepada kita agar percaya bahwa hanya dengan Pancasila itulah kita bisa
menjalankan ajaran agama yang kita yakini. Bahwa dengan berpancasila, orang
Islam tidak akan menjadi kafir, melainkan justru menjadi semakin Islami karena
mengamalkan Pancasila dalam konteks kehidupan Indonesia merupakan sikap untuk
mewujudkan rahmatan lil a'lamin.
Jadi,
patutlah kita berbahagia manakala usaha gerakan "berpancasila" itu
semakin melaju, bahkan akan masuk ke dalam kurikulum sekolah. Kita tidak perlu
trauma dengan Pancasila gaya Orde Baru, karena, sekali lagi, Pancasila
memberikan ragam tafsir.
Ke
depan, agar Pancasila lebih kuat tertanam pada jiwa anak bangsa, perlulah
digagas metode berpikir ala Pancasila, metode hidup ala Pancasila, menjadi
manusia ideal ala Pancasila, dan seterusnya. Jadi, Pancasila bukan sekadar
dijadikan bimbingan moral atau sekadar alasan politis saat berdebat, melainkan
sebagai cara berpikir, menalar, dan memandang persoalan hidup. http://www.jurnas.com/halaman/6/2012-12-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar